BAB I
PENDAHULUAN
Koperasi adalah organisasi bisnis yang dioperasikan oleh orang seorang
demi kepentingan bersama dan berlandaskan pada kegiatan juga prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
demi kepentingan bersama dan berlandaskan pada kegiatan juga prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Sejarah
singkat Koperasi
Koperasi pada abad ke-20 merupakan hasil dari usaha yang tidak spontan, tumbuh dari kalangan rakyat, ketika penderitaan dalam lapangan ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme semakin memuncak.
Koperasi pada abad ke-20 merupakan hasil dari usaha yang tidak spontan, tumbuh dari kalangan rakyat, ketika penderitaan dalam lapangan ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme semakin memuncak.
§ Pada
tahun 1896 Pamong Praja Patih R.Aria Wiria Atmaja di
Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri (priyayi).
Ia terdorong untuk menolong para pegawai yang makin
menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman
dengan bunga yang tinggi.
Bank ini adalah koperasi kredit . Lalu diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda. Selain pegawai negeri juga para petani perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan para pengijon maka di dirikan Koperasi Kredit Padi
Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri (priyayi).
Ia terdorong untuk menolong para pegawai yang makin
menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman
dengan bunga yang tinggi.
Bank ini adalah koperasi kredit . Lalu diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda. Selain pegawai negeri juga para petani perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan para pengijon maka di dirikan Koperasi Kredit Padi
§ Pada
tahun 1908, didirikan Budi Utomo oleh Dr. Sutomo memberikan
peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
§ Pada
tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve
Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe Cooperatieve.
Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe Cooperatieve.
§ Pada
tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, bertujuan untuk
memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi.
memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi.
§ pada
tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang
memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi.
memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi.
§ Namun,
pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga
mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.
mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.
§ Pada
tahun 1942 Jepang menduduki Indonesi lalu mendirikan koperasi kumiyai Namun
menjadi alat Jepang untuk mengeruk keuntungan, dan
menyengsarakan rakyat Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947,ada pergerakan koperasi di Indonesia dalam Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya . Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia
menyengsarakan rakyat Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947,ada pergerakan koperasi di Indonesia dalam Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya . Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia
Maksud dan
Tujuan
Maksud
Tujuan saya membuat makalah ini agar menambah wawasan saya tentang
koperasi yang ada di Indonesia , menambah nilai nilai softkill saya supaya
lebih baik untuk mata kuliah Ekonomi Koperasi dan mempelajari lebih dalam
tentang koperasi di wilayah Negara Negara Eropa
BAB II
Pembahasan
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-perorangan atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Tujuan Koperasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Koperasi Nomor 25
tahun 1992 adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Koperasi juga
diharapkan dapat berperan serta dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan
manusia dan masyarakat, memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan
dan ketahanan perekonomian nasional, serta berusaha untuk mewujudkan dan
mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama atas asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Beberapa penyimpangan, disadari atau tidak disadari, justru sering dilakukan oleh para pengurus dan pengelola yang semestinya membangun dan mengembangkan koperasi. Berbagai kebijakan dan prosedur formal didesaian dengan sangat birokratik sehingga justru mengurangi kinerja. Sebagai akibatnya, masyarakat yang menjadi anggota koperasi menjadi apatis dan menilai keberadaan koperasi tidak menolong kesulitan mereka.
Pengurus diberi amanah (trusteeship) oleh para anggota untuk mengelola koperasi sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Mereka bertanggung jawab melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Dengan begitu, pengurus koperasi dituntut mempunyai kemampuan dan keterampilan manajerial yang memadai. Selain itu, mereka juga harus mempunyai sense of public service, yaitu kesadaran untuk memberikan layanan masyarakat yang dilandasi oleh rasa pengabdian yang mendalam. Sebagai salah satu perangkat koperasi, pengurus ibarat nahkoda kapal yang harus piawai dalam menghadapai badai sehingga membuat para penumpang merasa aman sampai di tempat tujuan. Namun demikian, harapan tersebut nampaknya saat ini masih belum terwujud. Hal ini paling tidak bisa dilihat dari menurunnya rata-rata tingkat kinerja koperasi yang ada di Indonesia. Volume usaha koperasi pada tahun 1998 dengan jumlah koperasi sebanyak 52.458 unit mencapai Rp.19.543 milyar, selanjutnya pada tahun 2000 dengan jumlah koperasi lebih dari 100.000 unit, volume usaha koperasi justru menurun menjadi Rp.14.643 milyar. Memang penurunan volume usaha ini bukan semata-mata disebabkan oleh pengurus koperasi dan tidak semua pengurus koperasi mempunyai kinerja yang rendah. Namun, setidaknya hal ini menjadi pemicu untuk mengkaji ulang dan media pembelajaran dalam rangka perbaikan kinerja masa datang.
ada beberapa kemungkinan penyebab penurunan kinerja pengurus koperasi.. Pertama, masih kuatnya budaya nepostisme yang secara tidak sadar diyakini sebagai wujud azas kekeluargaan. Nepotisme ini mengakibatkan pengangkatan, pemilihan dan pemberian amanah kepada pengurus dan atau pegawai kurang mempertimbangkan kompetensi sehingga kapabilitas mereka rendah. Kedua, belum adanya performance measure (ukuran prestasi) para pengurus koperasi secara jelas. Jika tidak dirumuskan ukuran dan standar prestasi yang jelas, bagaimana bisa diketahui bahwa si pengurus berhasil dan gagal. Ketiga, masih rendahnya profesionalisme dan spesialisasi tugas. Dengan alasan efisiensi tenaga kerja, sering seorang pengurus koperasi harus merangkap pekerjaan sehingga justru semua pekerjaan tidak ada yang diselesaikan secara optimal. Keempat, lambannya proses adopsi dan adaptasi teknologi maju. Ketertinggalan sebagian koperasi dalam menerapkan teknologi maju menyebabkan kegiatan operasi tidak efisien, tidak produktif dan sistem informasi kurang relevan.
Untuk memperbaiki kinerja pengurus koperasi dibutuhkan beberapa upaya kongkrit. Pertama, penegakan disiplin harus dilaksanakan secara maksimal. Hal ini salah satunya ditandai dengan kejelasan akan sanksi dan punishment atas kesalahan yang diperbuat oleh oknum pengurus koperasi. Hendaknya disadari bahwa pengurus koperasi, baik secara bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, berkewajiban menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kelalaiannya, dan apabila dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan. Semua aktivitas pengurus yang telah diberi amanah mengelola koperasi (agent) harus dipertanggungjawabkan di depan para anggota sebagai pihak pemberi amanah (principal). Rapat Anggota Tahunan (RAT) harus dijadikan wahana evaluasi hasil kinerja tahunan para pengurus koperasi sebagai wujud akuntabilitas. Namun, gagasan tersebut mungkin terlalu ideal jika hubungan pengurus dengan anggota bukan merupakan hubungan agent dengan principal. Meskipun Koperasi berazas kekeluargaan, pertanggungjawaban para pengurus tidak bisa ditempuh secara “kekeluargaan” dengan memberikan toleransi yang tinggi atas penyimpangan yang dilakukan pengurus. Mekanisme reward and punishment terhadap pengurus harus diperbaiki dengan berlandaskan pada anggaran dasar dan kriteria kinerja yang jelas.
Kedua, Birokrasi yang berbelit-belit seharusnya dipangkas. Prosedur dan tatacara perizinan, pelaporan maupun pertanggungjawaban, baik secara teknis maupun administratif yang terlalu panjang sering justru mematikan kreatifitas usaha sehingga menurunkan kinerja. Bila kreativitas usaha dihambat oleh kepentingan birokrasi, maka besar kemungkinan koperasi tersebut sulit untuk bisa berkembang. Eksistensi sebuah koperasi juga membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif seluruh anggota. Jangan sampai mereka hanya namanya saja yang tercantum sebagai anggota, tetapi tidak pernah berpartisipasi karena rumitnya prosedur baku koperasi. Bureaucracy reengineering semestinya segera dilakukan dalam rangka memicu peningkatan kinerja para pengurus dan atau pegawai koperasi.
Ketiga, Menumbuhkan budaya berdasarkan Misi. Mengubah koperasi yang digerakkan oleh peraturan dan birokrasi menjadi koperasi yang digerakkan oleh misi. Cita-cita mulia dari pendirian sebuah koperasi yaitu membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, harus diterjemahkan secara kongkrit dalam bentuk budaya organisasi. Budaya yang terbentuk sering menyimpang dari misi sebuah koperasi karena sebagian pengurus berusaha hanya meningkatkan kesejahteraan kelompoknya dan bukan kesejahteraan anggota lainnya apalagi masyarakat. Pola pikir (mindset) pengurus seperti ini berorientasi jangka pendek dan secara organisasi merugikan koperasi itu sendiri.
Keempat, koperasi berorientasi pada anggota dan masyarakat. Pertanggungjawaban pengurus pada saat RAT mestinya bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan birokrasi tetapi penilaian terhadap seberapa berhasil para pengurus memenuhi kebutuhan dan harapan anggota atau masyarakat selain anggota koperasi. Pada umumnya pengurus koperasi salah dalam mengidentifikasikan variabel apa saja yang harus dipertanggungjawabkan pada saat RAT. Orientasi pengurus adalah bagaimana agar laporan pertanggungjawabannya dapat diterima oleh sebagian besar anggota koperasi meskipun dalam jangka panjang kemungkinan bisa mengurangi daya saing ekternal. Dalam kondisi seperti ini, pengurus akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan bisnis, mereka seringkali tidak care. Selayaknya, pengurus koperasi mengidentifikasikan siapa pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti pengurus tidak bertanggungjawab pada anggota, tetapi sebaliknya, mereka menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda (dual accountability): kepada anggota dan kepada masyarakat atau pelanggan lain yang secara langsung maupun tidak langsung membutuhkan jasa koperasi.
Kelima, berorientasi pada mekanisme pasar. Koperasi harus mengembangkan prinsip-prinsip perusahaan dan pasar secara maksimal. Penerimaan pegawai harus mengikuti seleksi ketat sesuai kemampuannya masing-masing sehingga bisa direkrut karyawan yang benar-benar kompeten dan trampil secara professional. Mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan) yang umumnya masih kental diterapkan pada lingkungan koperasi harus segera diganti dengan mekanisme pasar (sistem insentif) yang cukup fleksibel mengikuti dinamika pasar.
Keenam, penerapan teknologi maju. Computerized system terbukti mampu meningkatkan kinerja operasional suatu usaha sehingga koperasi tidak bisa menghindar dari kondisi dinamis seperti ini. Pelatihan dan pemberdayaan pengurus serta pegawai harus dilakukan secara terus menerus agar mereka tidak gagap teknologi. Kompetisi harus menjadi sarana untuk memicu inovasi para pengurus untuk eksis dan selalu berkembang.
Masih banyak upaya lain dalam meningkatkan kinerja koperasi yang bisa digali dari keunikan organisasi masing-masing. Upaya ini sebaiknya dilakukan dengan identifikasi terlebih dahulu Critical Success Factors (faktor keberhasilan utama), yaitu suatu area yang mengindikasikan kesuksesan kinerja sebuah
Beberapa penyimpangan, disadari atau tidak disadari, justru sering dilakukan oleh para pengurus dan pengelola yang semestinya membangun dan mengembangkan koperasi. Berbagai kebijakan dan prosedur formal didesaian dengan sangat birokratik sehingga justru mengurangi kinerja. Sebagai akibatnya, masyarakat yang menjadi anggota koperasi menjadi apatis dan menilai keberadaan koperasi tidak menolong kesulitan mereka.
Pengurus diberi amanah (trusteeship) oleh para anggota untuk mengelola koperasi sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Mereka bertanggung jawab melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Dengan begitu, pengurus koperasi dituntut mempunyai kemampuan dan keterampilan manajerial yang memadai. Selain itu, mereka juga harus mempunyai sense of public service, yaitu kesadaran untuk memberikan layanan masyarakat yang dilandasi oleh rasa pengabdian yang mendalam. Sebagai salah satu perangkat koperasi, pengurus ibarat nahkoda kapal yang harus piawai dalam menghadapai badai sehingga membuat para penumpang merasa aman sampai di tempat tujuan. Namun demikian, harapan tersebut nampaknya saat ini masih belum terwujud. Hal ini paling tidak bisa dilihat dari menurunnya rata-rata tingkat kinerja koperasi yang ada di Indonesia. Volume usaha koperasi pada tahun 1998 dengan jumlah koperasi sebanyak 52.458 unit mencapai Rp.19.543 milyar, selanjutnya pada tahun 2000 dengan jumlah koperasi lebih dari 100.000 unit, volume usaha koperasi justru menurun menjadi Rp.14.643 milyar. Memang penurunan volume usaha ini bukan semata-mata disebabkan oleh pengurus koperasi dan tidak semua pengurus koperasi mempunyai kinerja yang rendah. Namun, setidaknya hal ini menjadi pemicu untuk mengkaji ulang dan media pembelajaran dalam rangka perbaikan kinerja masa datang.
ada beberapa kemungkinan penyebab penurunan kinerja pengurus koperasi.. Pertama, masih kuatnya budaya nepostisme yang secara tidak sadar diyakini sebagai wujud azas kekeluargaan. Nepotisme ini mengakibatkan pengangkatan, pemilihan dan pemberian amanah kepada pengurus dan atau pegawai kurang mempertimbangkan kompetensi sehingga kapabilitas mereka rendah. Kedua, belum adanya performance measure (ukuran prestasi) para pengurus koperasi secara jelas. Jika tidak dirumuskan ukuran dan standar prestasi yang jelas, bagaimana bisa diketahui bahwa si pengurus berhasil dan gagal. Ketiga, masih rendahnya profesionalisme dan spesialisasi tugas. Dengan alasan efisiensi tenaga kerja, sering seorang pengurus koperasi harus merangkap pekerjaan sehingga justru semua pekerjaan tidak ada yang diselesaikan secara optimal. Keempat, lambannya proses adopsi dan adaptasi teknologi maju. Ketertinggalan sebagian koperasi dalam menerapkan teknologi maju menyebabkan kegiatan operasi tidak efisien, tidak produktif dan sistem informasi kurang relevan.
Untuk memperbaiki kinerja pengurus koperasi dibutuhkan beberapa upaya kongkrit. Pertama, penegakan disiplin harus dilaksanakan secara maksimal. Hal ini salah satunya ditandai dengan kejelasan akan sanksi dan punishment atas kesalahan yang diperbuat oleh oknum pengurus koperasi. Hendaknya disadari bahwa pengurus koperasi, baik secara bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, berkewajiban menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kelalaiannya, dan apabila dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan. Semua aktivitas pengurus yang telah diberi amanah mengelola koperasi (agent) harus dipertanggungjawabkan di depan para anggota sebagai pihak pemberi amanah (principal). Rapat Anggota Tahunan (RAT) harus dijadikan wahana evaluasi hasil kinerja tahunan para pengurus koperasi sebagai wujud akuntabilitas. Namun, gagasan tersebut mungkin terlalu ideal jika hubungan pengurus dengan anggota bukan merupakan hubungan agent dengan principal. Meskipun Koperasi berazas kekeluargaan, pertanggungjawaban para pengurus tidak bisa ditempuh secara “kekeluargaan” dengan memberikan toleransi yang tinggi atas penyimpangan yang dilakukan pengurus. Mekanisme reward and punishment terhadap pengurus harus diperbaiki dengan berlandaskan pada anggaran dasar dan kriteria kinerja yang jelas.
Kedua, Birokrasi yang berbelit-belit seharusnya dipangkas. Prosedur dan tatacara perizinan, pelaporan maupun pertanggungjawaban, baik secara teknis maupun administratif yang terlalu panjang sering justru mematikan kreatifitas usaha sehingga menurunkan kinerja. Bila kreativitas usaha dihambat oleh kepentingan birokrasi, maka besar kemungkinan koperasi tersebut sulit untuk bisa berkembang. Eksistensi sebuah koperasi juga membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif seluruh anggota. Jangan sampai mereka hanya namanya saja yang tercantum sebagai anggota, tetapi tidak pernah berpartisipasi karena rumitnya prosedur baku koperasi. Bureaucracy reengineering semestinya segera dilakukan dalam rangka memicu peningkatan kinerja para pengurus dan atau pegawai koperasi.
Ketiga, Menumbuhkan budaya berdasarkan Misi. Mengubah koperasi yang digerakkan oleh peraturan dan birokrasi menjadi koperasi yang digerakkan oleh misi. Cita-cita mulia dari pendirian sebuah koperasi yaitu membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, harus diterjemahkan secara kongkrit dalam bentuk budaya organisasi. Budaya yang terbentuk sering menyimpang dari misi sebuah koperasi karena sebagian pengurus berusaha hanya meningkatkan kesejahteraan kelompoknya dan bukan kesejahteraan anggota lainnya apalagi masyarakat. Pola pikir (mindset) pengurus seperti ini berorientasi jangka pendek dan secara organisasi merugikan koperasi itu sendiri.
Keempat, koperasi berorientasi pada anggota dan masyarakat. Pertanggungjawaban pengurus pada saat RAT mestinya bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan birokrasi tetapi penilaian terhadap seberapa berhasil para pengurus memenuhi kebutuhan dan harapan anggota atau masyarakat selain anggota koperasi. Pada umumnya pengurus koperasi salah dalam mengidentifikasikan variabel apa saja yang harus dipertanggungjawabkan pada saat RAT. Orientasi pengurus adalah bagaimana agar laporan pertanggungjawabannya dapat diterima oleh sebagian besar anggota koperasi meskipun dalam jangka panjang kemungkinan bisa mengurangi daya saing ekternal. Dalam kondisi seperti ini, pengurus akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan bisnis, mereka seringkali tidak care. Selayaknya, pengurus koperasi mengidentifikasikan siapa pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti pengurus tidak bertanggungjawab pada anggota, tetapi sebaliknya, mereka menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda (dual accountability): kepada anggota dan kepada masyarakat atau pelanggan lain yang secara langsung maupun tidak langsung membutuhkan jasa koperasi.
Kelima, berorientasi pada mekanisme pasar. Koperasi harus mengembangkan prinsip-prinsip perusahaan dan pasar secara maksimal. Penerimaan pegawai harus mengikuti seleksi ketat sesuai kemampuannya masing-masing sehingga bisa direkrut karyawan yang benar-benar kompeten dan trampil secara professional. Mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan) yang umumnya masih kental diterapkan pada lingkungan koperasi harus segera diganti dengan mekanisme pasar (sistem insentif) yang cukup fleksibel mengikuti dinamika pasar.
Keenam, penerapan teknologi maju. Computerized system terbukti mampu meningkatkan kinerja operasional suatu usaha sehingga koperasi tidak bisa menghindar dari kondisi dinamis seperti ini. Pelatihan dan pemberdayaan pengurus serta pegawai harus dilakukan secara terus menerus agar mereka tidak gagap teknologi. Kompetisi harus menjadi sarana untuk memicu inovasi para pengurus untuk eksis dan selalu berkembang.
Masih banyak upaya lain dalam meningkatkan kinerja koperasi yang bisa digali dari keunikan organisasi masing-masing. Upaya ini sebaiknya dilakukan dengan identifikasi terlebih dahulu Critical Success Factors (faktor keberhasilan utama), yaitu suatu area yang mengindikasikan kesuksesan kinerja sebuah
koperasi sesuai tujuan yang akan dicapai. Area CSF ini menggambarkan preferensi
manajerial dengan memperhatikan variabel-variabel kunci finansial dan
nonfinansial pada kondisi waktu tertentu. Suatu CSF dapat digunakan sebagai
indikator kinerja atau masukan dalam menetapkan indikator kinerja. Identifikasi
terhadap CSF dapat dilakukan terhadap berbagai faktor misalnya potensi yang
dimiliki koperasi, kesempatan, keunggulan, tantangan, kapasitas sumber daya,
dana, sarana-prasarana, regulasi atau kebijakan koperasi, dan sebagainya. Untuk
memperoleh CSF yang tepat dan relevan maka CSF harus secara konsisten mengikuti
perubahan yang terjadi dalam organisasi. Setiap bentuk usaha koperasi mempunyai
CSF yang berbeda-beda karena sangat tergantung pada unsur-unsur apa dari
koperasi tersebut yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam
pencapaian tujuan. CSF sebuah koperasi misalnya (1) sumber daya manusia yang
dimiliki oleh koperasi yang profesional, jujur dan berdedikasi tinggi, (2)
jaringan kerjasama dengan sumber daya intern dan ekstern, (3) sistem informasi
dan teknologi yang mendukung pengembangan usaha koperasi dan (4) dukungan dari
masyarakat untuk pengembangan koperasi di masa datang. Akhirnya selamat
berjuang, maju terus Koperasi Indonesia !
Menurut sejarah, ide koperasi pertama mucul di Inggris yang sekarang ini adalah
salah satu negara kapitalis di dunia, bukan lahir di sebuah negara sosialis,
dan yang jelas ide awalnya bukan datang dari Indonesia. Alasan utama koperasi
muncul di Inggris berawal dari beberapa petani kecil yang merasa bahwa mereka
secara sendiri-sendiri tidak bisa menghadapi pasar yang terdistorsi. Oleh
karena itu, para petani kecil tersebut merasa perlu dibentuk suatu kerjasama
antar mereka, dan dari situlah muncul koperasi (yang intinya adalah
bekerjasama). Jadi, koperasi adalah suatu bentuk strategi bisnis murnih yang
tujuannya adalah mencari keuntungan sebanyak mungkin, bukan untuk menciptakan
kesempatan kerja atau mengurangi kemiskinan. Strategi-strategi bisnis lainnya
yang juga bersifat kerja sama adalah melakukan misalnya strategi aliansi,
kemitraan, subcontracting, merger, atau joint venture.
Di Indonesia, image koperasi sangat berbeda dengan di negara-negara maju. Di Indonesia, oleh kebanyakan masyarakat koperasi tidak dilihat sebagai salah satu strategi bisnis untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin, melainkan sebagai salah satu cara untuk misalnya menanggulangi kemiskinan dan pengangguran. Bahkan oleh pemerintah, koperasi digunakan sebagai salah satu intrumen politik, sama halnya dengan slogan ”ekonomi kerakyatan” yang sekarang sedang rame dikumandangkan menjelang pemilu presiden dan wakil presiden. Di Amerika, Jepang, atau Swedia yang dikenal sebagai negara-negara kapitalis dan sekaligus negara-negara yang koperasinya sangat maju, tidak ada hari koperasi, tidak ada kementerian khusus koperasi, dan juga tidak ada slogan ekonomi kerakyatan, namun kesejahteraan rakyatnya sangat diperhatikan.
Jadi, selama keberadaan koperasi di Indonesia lebih merupakan suatu instrumen kebijakan sosial (seperti kebijakan pengurangan kemiskinan) dan suatu instrumen politik (seperti halnya semboyan ekonomi kerakyatan) daripada sebuah lembaga bisnis murni, koperasi di Indonesia tidak akan pernah maju seperti di negara-negara kapitalis.
Di Indonesia, image koperasi sangat berbeda dengan di negara-negara maju. Di Indonesia, oleh kebanyakan masyarakat koperasi tidak dilihat sebagai salah satu strategi bisnis untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin, melainkan sebagai salah satu cara untuk misalnya menanggulangi kemiskinan dan pengangguran. Bahkan oleh pemerintah, koperasi digunakan sebagai salah satu intrumen politik, sama halnya dengan slogan ”ekonomi kerakyatan” yang sekarang sedang rame dikumandangkan menjelang pemilu presiden dan wakil presiden. Di Amerika, Jepang, atau Swedia yang dikenal sebagai negara-negara kapitalis dan sekaligus negara-negara yang koperasinya sangat maju, tidak ada hari koperasi, tidak ada kementerian khusus koperasi, dan juga tidak ada slogan ekonomi kerakyatan, namun kesejahteraan rakyatnya sangat diperhatikan.
Jadi, selama keberadaan koperasi di Indonesia lebih merupakan suatu instrumen kebijakan sosial (seperti kebijakan pengurangan kemiskinan) dan suatu instrumen politik (seperti halnya semboyan ekonomi kerakyatan) daripada sebuah lembaga bisnis murni, koperasi di Indonesia tidak akan pernah maju seperti di negara-negara kapitalis.
Meningkatkan Kinerja Koperasi
Rumus untuk meningkatkan kinerja koperasi di Indonesia sederhana: pembentukan suatu koperasi harus sepenuhnya datang dari masyarakat/pengusaha dengan tujuan meningkatkan keuntungan. Pembentukan koperasi jangan dilandasi oleh tujuan-tujuan sosial dan terlebih lagi jangan dipaksakan oleh pemerintah. Sama halnya, dua perusahaan melakukan merger harus berdasarkan sepenuhnya kalkulasi bisnis (untung rugi dalam nilai ekonomi), bukan dipaksakan. Kemajuan koperasi, seperti sebuah perusahaan, sangat ditentukan oleh SDM yang baik, penguasaan teknologi, manajemen modern, dll., bukan oleh dana bantuan atau dorongan dari pemerintah.
Jika paradigma koperasi di Indonesia tidak berubah dari orientasi sosial-politik ke orientasi bisnis, Indonesia hanya akan dikenal dengan hari koperasinya, bukan koperasinya sendiri.
Citra dan Peran Koperasi di Berbagai Negara
Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu
meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia
(bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang kinerjanya belum seperti
yang kita harapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban
psikis, handycap dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan
manfaat berkoperasi.
Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi
perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara
skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura,
Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa
ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di
beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya
agar berbentuk koperasi.
Di Indonesia, menurut Ketua Umum Dekopin, saat ini terdapat sekitar 116.000
unit koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar dan
potensial untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30%
saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi perekonomian nasional
akan sangat signifikan.
Sementara itu di Amerika Serikat jumlah anggota koperasi kredit (credit
union) mencapai sekitar 80 juta orang dengan rerata simpanannya 3000 dollar
(Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting
terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham
karyawan dan menyalurkan gaji karyawan.
Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika
Serikat dan Kanada sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai people’s
bank, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya
pula.
Di Jepang, koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis
pertanian. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank
sehingga koperasi sering disebut pula sebagai ‘bank rakyat’ karena koperasi
tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan (Rahardjo, 2002).
BAB III
Kesimpulan
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-perorangan atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Tujuan Koperasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Koperasi Nomor 25
tahun 1992 adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur
Untuk memperbaiki kinerja pengurus koperasi dibutuhkan beberapa upaya kongkrit.
1. Penegakan
disiplin harus dilaksanakan secara maksimal.
2. Birokrasi
yang berbelit-belit seharusnya dipangkas. Prosedur dan tatacara perizinan,
pelaporan maupun pertanggungjawaban, baik secara teknis maupun administratif
yang terlalu panjang sering justru mematikan kreatifitas usaha sehingga
menurunkan kinerja.
3. Menumbuhkan
budaya berdasarkan Misi. Mengubah koperasi yang digerakkan oleh peraturan dan
birokrasi menjadi koperasi yang digerakkan oleh misi
4. Koperasi
berorientasi pada anggota dan masyarakat. Pertanggungjawaban pengurus pada saat
RAT mestinya bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan birokrasi tetapi
penilaian terhadap seberapa berhasil para pengurus memenuhi kebutuhan dan
harapan anggota atau masyarakat
5. Berorientasi
pada mekanisme pasar. Koperasi harus mengembangkan prinsip-prinsip perusahaan dan
pasar secara maksimal.
6. Penerapan
teknologi maju. Computerized system terbukti mampu meningkatkan kinerja
operasional suatu usaha sehingga koperasi tidak bisa menghindar dari kondisi
dinamis seperti ini.
Pembentukan
koperasi jangan dilandasi oleh tujuan-tujuan sosial dan terlebih lagi jangan
dipaksakan oleh pemerintah. Sama halnya, dua perusahaan melakukan merger harus
berdasarkan sepenuhnya kalkulasi bisnis (untung rugi dalam nilai ekonomi),
bukan dipaksakan.
Contoh lain
adalah perdagangan bunga di Belanda. Mayoritas perdagangan bunga disana
digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga
Koperasi Sunkis di California (AS) yang mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca
Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan
demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari Koperasi Sunkis yang
dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001).
Di
Indonesia, banyak juga kita jumpai koperasi yang berhasil, misalnya GKBI yang
bergerak dalam bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak dalam bidang usaha tahu
dan tempe (Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita di
Surabaya, dan KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis koperasi yang berbasis di
perguruan tinggi, dan masih banyak contoh lagi
BAB IV
Daftar Pusaka
http://amaliagunadarma.blogspot.com/2013/01/meningkatkan-peran-kinerja-koperasi-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar